Makin meluasnya penyebaran paham radikal di Tanah Air, cukup mengkhawatirkan. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa perlu ada langkah baru dalam mekanisme deradikalisme, yang itu berbeda dengan yang selama ini dilakukan.
“Ada hasil penelitian saya dalam upaya mencegah tumbuh dan berkembangnya radikalisme di Tanah Air. Ini sekaligus membantah teori-teori yang selama ini digunakan dalam upaya deradikalisasi,” kata akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Sulawesi Tengah, Lukman S Thahir saat dihubungi dari Palu, Jumat (4/10).
Lukman menawarkan langkah baru berdasarkan hasil penelitiannya tentang mekanisme deradikalisasi dalam rangka mencegah tumbuh kembang gerakan radikalisme di Tanah Air dalam dalam konferensi intelektual Muslim bertajuk Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2019.
Menurut Lukman, sebelum masuk pada bekas narapidana terorisme (napiter) perlu mengetahui proses transformasi identitas, yaitu siapa mereka para terorisme tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya, sebelum di-cap oleh negara sebagai teroris dan terpidana kasus itu, sekelompok orang di Poso menamakan dirinya sebagai jihadis.
Mengenai bagaimana proses pembentukan transformasi identitas dari bekas napiter Poso menjadi perjuang perdamaian, dia melihatnya ada tiga pendekatan. Pertama, kata Lukman, memahami diri mereka. Jadi setiap orang termasuk pemerintah harus mampu memahami dengan utuh para bekas napiter.
“Untuk dapat memahami mereka, harus ada proses membaur bersama napiter dulu. Memaknai mereka, bukan perkara mudah, butuh berbagai pendekatan,” kata Lukman.
Tiga Pendekatan
Kedua, tambah Lukman, setelah memahami diri bekas napiter, harus ada upaya memaknai. Setelah paham dengan diri mereka, lalu dilakukan pemaknaan terhadap mereka. Dalam proses ini meliputi tiga pendekatan. Membangun kepercayaan antara napiter dan peneliti bahkan pemerintah. “Nah, di sini perlu saling percaya. Jadi harus betul-betul melebur dengan mereka sehingga bisa terbangun solidaritas dan kebersamaan,” katanya.
Kemudian, membangun kemandirian mereka para bekas napiter dalam lingkaran hidup mereka yang mau atau tak mau pasti akan ada saling ketergantungan. “Ada proses determinan sejarah. Dalam lingkaran hidup bekas napiter, mereka tentu mendengar para tokoh-tokoh mereka, mendengar para orang-orang tua mereka,” katanya.
Lalu, membentuk sikap dan karakter, yaitu bagaimana merespons proses transformasi identitas dari jihadis atau napiter ke pejuang perdamaian. Pendekatan ketiga, setelah memahami, memaknai yakni aktualisasi diri. “Di sinilah para bekas napiter bermain peran sebagai kafilah pejuang perdamaian, setelah mereka memaknai diri mereka,” kata Lukman.
IAIN Palu mengirim tiga akademisinya untuk menyampaikan hasil penelitian dalam AICIS tahun 2019 di Jakarta. Mereka adalah Lukman S Thahir, Rusli, dan Mohammad Nur Ahsan.